Seperti tahun-tahun sebelumnya, ujian fisika asuhan Pak
Winarso menjadi sesuatu yang angker. Selain pelajarannya penuh intrik
rumus-rumus yang bikin dahi mengkerut, hari itu Pak Winarso sendiri yang akan
menjadi pengawas ujian. Maklum saja, beliau ingin tahu seberapa jauh anak-anak
asuhannya tersenyum mengerjakan soal-soal ujian, padahal biasanya yang menjadi
pengawas adalah guru BP atau staf TU sedangkan Pak Winarso hanya datang untuk
menengok. Ketajaman mata Pak Winarso sudah teruji di dua belas kelas di SMA
Satu Cisangkela meski beliau punya masalah rabun jauh. Bahkan, pendengaran
beliau lebih peka dari perasaan perempuan saat kedua telinganya memakai hearing
aid buatan Swedia. Beliau jarang tersenyum ketika tidak memakai gigi palsu,
Rolex klasik-nya membuat beliau selalu tiba tepat waktu. Itu juga yang membuat Pak
Winarso terkenal dan disegani pula di dua puluh SMA di tujuh kota.
Sementara Pak Winarso memasang gigi palsu dan menyisir
rambutnya yang hanya beberapa helai, mari kita tengok kelas 12-10 SMA Satu
Cisangkela. Ruangan yang manis dengan foto berpigura Presiden dan Wakilnya
tergantung tinggi di atas papan tulis, sedangkan di hadapan mereka berjejer lukisan
pahlawan. Antara presiden dan para pahlawan saling memandang, seolah ada
kerinduan diantara mereka. Ada sebuah lemari kaca berisi piala kebanggaan kelas
itu; satu piala juara satu lomba karaoke dan dua piala juara tiga lomba menari,
dan satu piala lomba menyanyi. Semuanya diraih di tahun yang sama, dan sengaja
diletakkan di ruang kelas untuk membedakan dengan kelas lain. Sayangnya, kelas tidak
menunjukkan identitasnya sebagai ruang belajar ketika poster Valentino Rossi menutup
poster sistim tata surya dan poster One Direction menutup poster sistim
pernafasan. Di bagian lain malah sengaja dipasang poster Lionel Messi, Queen,
Sponge Bob, Leonardo Di Caprio berjejer di dinding.
Hanya ada satu orang di kelas menjelang jam tujuh. Dia
duduk di kursi pojok sebelah kanan paling belakang. Tasnya diletakkan di atas
meja dan dia sibuk mengorek-orek isinya mengeluarkan lipstik, bedak, parfum,
sendok, gunting kuku, komik dari dalam tas. Kemudian dia membuka tempat pinsil,
mengeluarkan lima lembaran kertas kecil dengan tulisan-tulisan kecil yang
dilipat sampai kecil lalu membaca tulisan-tulisan kecilnya itu dan
mengurutkannya di atas meja. Mari kita berpikir positif dia tidak sedang
merencanakan menyontek. Cewek ini biasa dipanggil Riri, nama aslinya Riana
Rinasari. Riri bukan siswi yang, maaf, bodoh. Kertas-kertas kecil itu hanya
sekedar pengingat. Dia pernah berkata padaku bahwa tidak semua orang punya
ingatan bagus. Mungkin kau setuju dengannya.
Adrian, murid kedua yang datang pagi itu. Makhluk
berkacamata persegi ini dianggap penolong bagi teman-temannya yang belum
mengerjakan PR. Dan untuk ujian kali ini, dia diPaksa duduk paling belakang di
barisan ke dua. Tubuhnya kurus dan tegap. Tegap karena membawa tas berisi lima
belas kilogram buku-buku. Dia bisa bernafas lega saat meletakkan tasnya di atas
meja. Kemudian, dia membuka tas dan mengeluarkan buku Black Holes &
Baby Universe-nya Stephen Hawking, membuka halaman empat puluh dan terPaku
dalam kesenangannya.
Tidak berapa lama, tamPak sebuah bayangan bergerak
maju mundur seperti enggan masuk kelas. Pemilik bayangan itu memakai kacamata
hitam, di telinganya menempel earphones yang berkaitan dengan goyangan kepalanya. Tidak ada yang aneh, karena dia
melakukannya setiap hari. Tapi, Samil punya kebiasaaan lain yang membuat salah
seorang temannya tidak nyaman. Dia selalu menepuk bahu Adrian dan setelah itu
duduk di belakangnya. “Gimana kabar lo, man? tanya Samil. Tapi, yang ditanya diam saja dan terus membaca.
Di sisi
timur, ada tujuh perempuan yang senantiasa membuat kelas jadi
pasar; Anna, Lina, Indah, Riska, Elina, Neli, dan Ani. Kali ini mereka ngobrol
tentang cowok. Elina, yang suka sePak bola, bilang kalau Ronaldo itu lebih
ganteng dari Di Caprio. Tapi, Neli lebih suka ngobrolin cowok lokal. Mereka setuju
dengan usul Neli. Lalu, mereka mengajukan nama cowok-cowok paling keren di
sekolah dan membandingkannya satu per satu. Pada akhirnya mereka sePakat hanya satu cowok paling keren di sekolah, dan manusia itu sedang melangkah ke dalam kelas. Mendadak kelas menjadi sepi. Seperti juru kamera, mata mereka
mengikutinya.
Ali Chen merupakan perpaduan Arab dan Cina. Dia berkulit putih, tingginya sedang, matanya tidak besar atau sipit dengan alis tebal dan bulu mata lentik, bekas cukuran
terlihat hijau di dagu dan sepanjang rahangnya. Dia duduk tepat di depan Adrian. Adrian tamPak tidak tertarik
dengan kehadirannya dan masih fokus membaca. Ali memandangnya dan berpikir; seandainya Adrian adalah dirinya dan dirinya adalah Adrian, dan dia membaca
buku yang dibaca Adrian sementara Adrian memberikan kedipan kepada
perempuan-perempuan itu. Lalu, Adrian (yang tadi adalah dirinya) berpikir, seandainya Adrian itu adalah dirinya yang berpikir
apa yang dia pikirkan sekarang, maka Adrian adalah dia. Aneh sekali. Ali mengeluarkan
pinsil dan selembar kertas kosong, dan menulis apa yang ada dipikirannya. Kautahu,
biasanya tulisannya menjadi puisi atau cerpen. Di sisi timur, tujuh perempuan tadi kembali ngobrol, tapi bukan tentang Ali. Mereka membicarakan Pak Amir, guru bahasa Inggris baru yang tampan.
* * *
Tidak ada yang melihat Danna masuk dengan wajah
cemberut, dan dengan malas dia meletakkan tasnya di atas meja. Anak
yang satu ini selalu kecewa dengan sistim dan menganggap pemikirannya lebih
maju dari teman-temannya. Dia
mengkritik apa saja, termasuk kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang masih belum meratifikasi Protokol Kyoto. Dia mengeluarkan buku tebal fisika
Giancolli jilid satu dan meletakkan kepala diatasnya. Lima menit tidur akan membuatnya segar.
Sepuluh menit menjelang ujian, seluruh kursi terisi
kecuali satu kursi dua di baris kedua. Si pemilik
kursi dianggap sebagai tokoh spiritual. Dia mencintai sesuatu yang universal,
sesuatu yang dapat diterima siapapun seperti nilai-nilai kebaikan, kekuatan
sebagai penyeimbang alam, hati nurani untuk membedakan sifat baik dan jahat,
kepahlawanan sebagai simbol kebaikan. Dia kadang menganggap dirinya sebagai
Dalai Lama, Sang Budha, Sri Paus, Gandhi, atau Aa Gym. Dan tepat lima menit menuju jam delapan kelas berubah sepi.
Dalam degup jantung masing-masing mengucapkan detik yang sama.
5 ... 4 ... 3 ... 2 ... 1
Dharma berdiri di depan pintu, menatap jauh ke dalam
kelas. Teman-temannya menunggu apa yang akan dikatakannya. Dharma mengambil mengeluarkan sebuah arloji kuno milik Pak Winarso dari saku celananya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Ini demi kebaikan
teman-teman!” kata Dharma disusul tepuk tangan bergemuruh. Sesaat kemudian kelas menjadi
sepi kembali. Dharma mengeluarkan sesuatu dari kantong kiri
celana; sebuah hearing aid asli Swedia
diangkat dengan tangan kiri. “Demi kesenanganku!” kata Dharma. Kembali terdengar
suara gemuruh tepuk tangan dan sorak sorai. Tapi, kebahagian Dharma tidak berlangsung lama. Dia melangkah menunduk menuju kursinya. Wajahnya memerah matanya terpejam dan dia
menangis. “Aku gagal .. Aku gagal!” kata Dharma penuh penyesalan.
Kelas
mendesah. “Ooo….”
Dharma menegakkan tubuhnya, pandangannya menerawang
jauh, dan berkata, “Dia masih Pakai kacamatanya!” Seluruh kelas merasakan
kesedihan yang sama. Mereka menganggap kacamata itulah yang paling penting
diantara ketiga pusaka Pak Winarso.
Riuh.
Dua menit menjelang ujian. Dari refleksi kaca jendela
terlihat langkah kaki. Sepatu dan bunyinya khas Pak Winarso. Tidak terlalu cepat dan
tidak terlalu lambat, iramanya konstan. Tiga siswa sibuk buru-buru menurunkan poster-poster idola mereka dan beberapa detik kemudian
poster-poster pahlawan, sistim pernafasan tubuh, tata surya kembali terpampang
tepat saat Pak Winarso melangkah masuk kelas dan mengucapkan selamat pagi.
Tapi Pak
Winarso tidak bisa mendengar jawaban mereka. Beliau hanya melihat para siswa hanya membuka mulut tanpa suara. Kelas
tamPak sepi dan senyap (bagi Pak Winarso). Namun, jika melihat keadaan yang sebenarnya, para siswa masih mengobrol, bermain hp atau bersenandung. Pak Winarso
melihat ke arah jam dinding. Dia membuka tasnya dan mengeluarkan amplop coklat.
Soal-soal ujian dibagikan oleh beliau sendiri. Setiap siswa ditatap dengan
penuh pengharapan dan pengertian.
Beliau berhenti di samping meja Adrian dan menyuruh
Adrian pindah ke meja paling depan. Edi yang duduk di sana pindah ke meja
Adrian. Dharma mencoba tenang ketika Pak Winarso mendekat. Pak Winarso
menatapnya seolah sedang membaca pikiran Dharma.
Beliau memberikan soal padanya dan berlalu. Dharma bernafas lega. Sepuluh menit kemudian semua siswa mendapatkan soal, dan
dalam dua jam ke depan mereka akan mengerjakannya.
Goresan pulpen, suara kertas yang dibolak balik dan
bisikan-bisikan mulai terdengar. Tapi Pak Winarso bukanlah macam guru yang
mudah diperdaya. Beliau berkeliling dengan cepat, menengok ke belakang dengan
tiba-tiba atau berdehem guna memberi gertakan. Para siswa dan Pak Winarso
mengatur strategi. Dan pada akhirnya Pak Winarso-lah pemenangnya. Kelas sepi
kembali, sepi seperti yang dirasakan Pak Winarso. Para siswa tenggelam dalam
pikirannya masing-masing.
Dharma bermeditasi, pikirannya kosong, nafasnya
teratur dan matanya terpejam. Dia mulai merasakan ketenangan. Hembusan angin
mengusap wajah, rambutnya melambai-lambai. Dia berlari ke puncak bukit,
merentangkan tangannya, menghirup udara dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Nyanyian burung yang melompat-lompat di dahan
pepohonan, bunga warna-warni mengeluarkan bau-bau harum merasuk dalam
imajinasinya. Dalam buaian alam, perlahan-lahan Dharma membuka mata. Dia
tersenyum. Selanjutnya, pinsilnya menari-nari di atas kertas jawaban dan membiarkan jiwanya menjawab soal-soal itu.
Di tempat lain, mata Riri mengawasi gerak Pak Winarso.
Di bawah meja, tangan kanannya menggenggam hp. Jempolnya beberapa kali memencet
tombol dan berhenti. Matanya sekilas beralih ke layar hp. Hanya sekilas, dan
setelah itu dengan sigap dan cepat dia menjawab soal pertama. Untuk menjawab soal ke dua, Riri mengulanginya
lagi dan begitu seterusnya hingga soal terakhir.
Danna tidak peduli dengan soal-soal ujian. Menurutnya ujian ini adalah suatu pembodohan! Banyak
persoalan lain yang lebih penting ketimbang mengerjakaan soal-soal ini:
Anak-anak jalanan, korupsi, kemacetan, banjir, polusi adalah permasalahan yang
butuh jawaban segera. Di dalam otaknya sudah terangkum strategi-strategi
membangun bangsa, menciptakan perdamaian dunia, pencegahan korupsi, menata
tatanan global dan bergabung dengan Green Peace. Jadi mengapa
dia harus terjebak dalam kelas ini? Sebuah rutinitas yang membosankan. Tapi, akhirnya dia mencoba menjawab soal-soal itu karena
tidak ingin mengecewakan orang tuanya yang membanting tulang sebagai tukang ojek untuk membiayai pendidikannya.
Kelas yang sepi ini menjadi bahan pemikiran yang
menarik buat Ali Chen. Tidak ada yang dilakukannya selain berpikir (mengkhayal).
Kertas jawabannya masih kosong. Dia melihat Pak Winarso yang juga sedang
memperhatikannya. Pandangannya beralih ke Dharma yang tenang dan setelah itu beralih ke Danna, Elina, Sari, Adrian, Ketut, dan Nyoman. Dia tertawa kecil.
Adrian terus menggaruk-garuk kepala, membolak balik kertas soal, melepas kacamata dan
mengusap wajah. Dia gelisah, gerakannya menandakan ada sesuatu yang kurang
beres. Sejauh pemahamannya, soal itu menanyakan tentang relativitas umum dan
tidak ada kaitannya dengan mekanika kuantum atau pergerakan atom-atom. Ini
sesuatu yang besar berhubungan dengan planet-planet dan kosmos. Persamaan X dan
Y tidak divergen dan ini adalah suatu kesalahan! Mungkin ada yang salah dalam
soal ini. Tetesan keringatnya jatuh di lembar jawaban dan membuat tulisannya
luntur. Dia mencoba membersihkannya, tapi gagal. Dia semakin tegang dan tidak
tahu apa yang akan dilakukan. Jika dia tidak sanggup mengerjakan ujian ini maka
perasaannya akan menjadi lebih peka sehingga dia akan menyalahkan siapa pun.
Dia meletakkan pinsilnya di sebelah kanan, menarik nafas dalam-dalam dan
mencoba tenang. Mungkin reputasinya akan jatuh seperti saat dia menjatuhkan
pinsilnya dan tak akan ada orang lain yang akan menghargai.
Satu jam berlalu. Ketenangan, kegelisahan, senyum,
bisikan dan musik adalah kata-kata yang tepat sebagai arti gerakan-gerakan
kilat yang dilakukan para siswa. Pak Winarso duduk tenang, matanya tak lelah
mengawasi. Tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu di balik tumpukan buku. Beliau
menemukan hearing
aid-nya. Tapi itu bukan yang biasa diPakai. Benda itu terlihat baru dan bagus. Beliau memasang alat itu di kedua
telinganya dan terdengar jelas bunyi-bunyian, lebih
jelas dari yang beliau punya. Para siswa yang melihatnya menarik nafas dan
berhenti berbisik. Kelas jadi hening, benar-benar hening.
Jarum jam di dinding bergerak lambat. Suaranya seperti
palu raksasa memukul pelan. Dari menit ke menit suara itu semakin melambat dan selama itu pula para siswa mulai terserang
rasa bosan. Beberapa siswa menguap, meregangkan tangan, menggaruk kepala dan ada pula yang tidur.
Mereka menunggu dalam jenuh, tangan-tangan menopang dagu, menggantinya dari kanan
ke kiri dan kiri ke kanan. Tapi mereka punya ekspresi yang sama ketika
mendengar suara ledakan. Bukan ledakan bom atau gas elpiji. Suara itu hanya
ledakan tawa dari salah satu diaantara mereka.
Tidak perlu
waktu lama untuk mengetahui sumbernya. Semua mata memandang Ali Chen yang sedang tertawa geli. Pak Winarso bangkit
dan bergegas menuju ke sana. Para siswa menduga-duga apa yang akan dilakukan Pak
Winarso padanya. Pak Winarso berdiri di samping Ali. Ali melirik ke arahnya dan
mencoba untuk menahan tawa, tapi tidak bisa. Dia tetap tertawa, tapi kali ini lebih
pelan karena dia menutup mulutnya dengan tangan. Kemudian, tawanya berubah cekikikan dan memancing tawa kecil
teman-temannya. Hanya Pak Winarso yang tidak tertawa.
“Kenapa?” tanya Pak Winarso galak.
Yang ditanya hanya tersenyum
kecil.
“Apa yang kamu tertawakan?”
Ali mencoba keras menahan tawanya dan kali ini berhasil.
“Maaf, Pak,” kata Ali. “Saya ... saya hanya membayangkan apa yang akan terjadi kalau di tengah kelas yang sepi dan hening ini tiba-tiba saja dikejutkan
dengan suara tawa. Hehe.”
“Dan kamu tertawa membayangkan kamu tertawa?”
“Betul, Pak!” sambil menunjuk Pak Winarso. “Saya sebenarnya nggak tahu deh apa yang akan terjadi, yang jelas pasti lucu sekali.”
Mendengar jawaban Ali seluruh kelas pun sontak tertawa.
Pak Winarso ikut tertawa.
Ali menyalami teman-teman yang berada di dekatnya.
Samil mengacungkan jempol, Ali membalas dengan mengangkat alis.
“Semua butuh tertawa,” kata Pak Winarso. “Kelas ini butuh tertawa dan Bapak juga butuh tertawa. Kita sekarang tertawa. Terima kasih, Nak. Terima kasih.” Kemudian beliau melangkah pergi dan bediri di samping Adrian yang masih gelisah. Hanya
Adrian yang tidak tertawa. Ujian ini terlalu penting baginya.
“Betulkan, Adrian?” kata Pak Winarso menepuk bahu
Adrian
“Eh..mm.. betul Pak,” kata Adrian setengah terkejut
Pak Winarso meninggalkan Adrian dan melangkah ke
samping meja Dharma. Dharma mengeluarkan arloji milik Pak Winarso dari tasnya.
Kelas berangsur-angsur tenang, tapi para siswa tidak mengerjakan soal. Dharma menyerahkan benda itu kepada Pak Winarso. Kelas menunggu Pak Winarso
mengatakan sesuatu. Semua mata tertuju pada beliau.
“Bapak juga berterima kasih kepada Dharma yang sudah membetulkan Rolex saya. Ya, banyak kenangan dari jam
ini.”
Pak Winarso menatap satu per satu siswanya, lalu terdiam
sebentar dengan matanya berkaca-kaca. Kelas merasakan hal yang sama. Beberapa siswi meneteskan air mata.
“Semuanya gratis kok Pak” kata Dharma tersenyum,
disusul senyum teman-teman.
Terima kasih kepada kalian untuk benda ini,” Pak
Winarso menunjuk hearing aid barunya. “Pasti harganya mahal.”
Beliau mengeluarkan air mata tapi mencoba untuk tidak larut dalam suasana.
“Semuanya gratis kok Pak!” seru para siswa bersamaan.
Dan kelas pun tersenyum
* * *
Pak Winarso, dengan segala keterbatasannya, adalah
guru yang baik. Hampir empat puluh tahun beliau mengajar fisika dan selama itu pula lulusan-lulusan terbaik dilahirkan. Kelas ini adalah
kebanggaannya di ujung masa tugasnya karena minggu depan beliau pensiun. Fisika adalah hidupnya dan begitu pula
murid-muridnya. Kesan angker yang tertuju pada fisika dan dirinya hanya
diberikan oleh siswa yang belum paham. Meski begitu beliau tetap menghargai mereka. Kelas ini adalah
bukti keberhasilannya. Setengah dari piala-piala dalam lemari kaca didapat dari lomba fisika.
Hari itu hari terakhir Pak Winarso di SMA 1
Cisalengka. Beliau akan merindukan para siswa. Ucapan selamat tinggal bukanlah
ucapan yang tepat untuk berpisah. Saling mendoakan adalah ucapan yang terbaik,
dan mereka melakukannya hari itu.
Pak Winarso berulang kali memberinya pemahaman kepada
Adrian mengenai fisika dengan sabar. Namun, Adrian selalu mencampur aduk antara sastra dan fisika. Beliau tidak
memaksakan fisika kepada Adrian. Waktu itu Adrian mendapat soal termudah
diantara teman-temannya. Samil berpikir jika Adrian duduk di belakang, maka dia
akan dapat membantunya. Lain halnya saat ada tugas membuat puisi, ketika hampir seluruh kelas meminta Adrian membuatkan puisi, maka dengan senang hati Adrian membantu mereka.
* * *

Tidak ada komentar:
Posting Komentar