Sabtu, 21 Februari 2015

Suatu Hari di SMA Cisangkela


Foto: republika.co.id

Seperti tahun-tahun sebelumnya, ujian fisika asuhan Pak Winarso menjadi sesuatu yang angker. Selain pelajarannya penuh intrik rumus-rumus yang bikin dahi mengkerut, hari itu Pak Winarso sendiri yang akan menjadi pengawas ujian. Maklum saja, beliau ingin tahu seberapa jauh anak-anak asuhannya tersenyum mengerjakan soal-soal ujian, padahal biasanya yang menjadi pengawas adalah guru BP atau staf TU sedangkan Pak Winarso hanya datang untuk menengok. Ketajaman mata Pak Winarso sudah teruji di dua belas kelas di SMA Satu Cisangkela meski beliau punya masalah rabun jauh. Bahkan, pendengaran beliau lebih peka dari perasaan perempuan saat kedua telinganya memakai hearing aid buatan Swedia. Beliau jarang tersenyum ketika tidak memakai gigi palsu, Rolex klasik-nya membuat beliau selalu tiba tepat waktu. Itu juga yang membuat Pak Winarso terkenal dan disegani pula di dua puluh SMA di tujuh kota.
Sementara Pak Winarso memasang gigi palsu dan menyisir rambutnya yang hanya beberapa helai, mari kita tengok kelas 12-10 SMA Satu Cisangkela. Ruangan yang manis dengan foto berpigura Presiden dan Wakilnya tergantung tinggi di atas papan tulis, sedangkan di hadapan mereka berjejer lukisan pahlawan. Antara presiden dan para pahlawan saling memandang, seolah ada kerinduan diantara mereka. Ada sebuah lemari kaca berisi piala kebanggaan kelas itu; satu piala juara satu lomba karaoke dan dua piala juara tiga lomba menari, dan satu piala lomba menyanyi. Semuanya diraih di tahun yang sama, dan sengaja diletakkan di ruang kelas untuk membedakan dengan kelas lain. Sayangnya, kelas tidak menunjukkan identitasnya sebagai ruang belajar ketika poster Valentino Rossi menutup poster sistim tata surya dan poster One Direction menutup poster sistim pernafasan. Di bagian lain malah sengaja dipasang poster Lionel Messi, Queen, Sponge Bob, Leonardo Di Caprio berjejer di dinding.
Hanya ada satu orang di kelas menjelang jam tujuh. Dia duduk di kursi pojok sebelah kanan paling belakang. Tasnya diletakkan di atas meja dan dia sibuk mengorek-orek isinya mengeluarkan lipstik, bedak, parfum, sendok, gunting kuku, komik dari dalam tas. Kemudian dia membuka tempat pinsil, mengeluarkan lima lembaran kertas kecil dengan tulisan-tulisan kecil yang dilipat sampai kecil lalu membaca tulisan-tulisan kecilnya itu dan mengurutkannya di atas meja. Mari kita berpikir positif dia tidak sedang merencanakan menyontek. Cewek ini biasa dipanggil Riri, nama aslinya Riana Rinasari. Riri bukan siswi yang, maaf, bodoh. Kertas-kertas kecil itu hanya sekedar pengingat. Dia pernah berkata padaku bahwa tidak semua orang punya ingatan bagus. Mungkin kau setuju dengannya.
Adrian, murid kedua yang datang pagi itu. Makhluk berkacamata persegi ini dianggap penolong bagi teman-temannya yang belum mengerjakan PR. Dan untuk ujian kali ini, dia diPaksa duduk paling belakang di barisan ke dua. Tubuhnya kurus dan tegap. Tegap karena membawa tas berisi lima belas kilogram buku-buku. Dia bisa bernafas lega saat meletakkan tasnya di atas meja. Kemudian, dia membuka tas dan mengeluarkan buku Black Holes & Baby Universe-nya Stephen Hawking, membuka halaman empat puluh dan terPaku dalam kesenangannya.
Tidak berapa lama, tamPak sebuah bayangan bergerak maju mundur seperti enggan masuk kelas. Pemilik bayangan itu memakai kacamata hitam, di telinganya menempel earphones yang berkaitan dengan goyangan kepalanya. Tidak ada yang aneh, karena dia melakukannya setiap hari. Tapi, Samil punya kebiasaaan lain yang membuat salah seorang temannya tidak nyaman. Dia selalu menepuk bahu Adrian dan setelah itu duduk di belakangnya. “Gimana kabar lo, man? tanya Samil. Tapi, yang ditanya diam saja dan terus membaca.
Di sisi timur, ada tujuh perempuan yang senantiasa membuat kelas jadi pasar; Anna, Lina, Indah, Riska, Elina, Neli, dan Ani. Kali ini mereka ngobrol tentang cowok. Elina, yang suka sePak bola, bilang kalau Ronaldo itu lebih ganteng dari Di Caprio. Tapi, Neli lebih suka ngobrolin cowok lokal. Mereka setuju dengan usul Neli. Lalu, mereka mengajukan nama cowok-cowok paling keren di sekolah dan membandingkannya satu per satu. Pada akhirnya mereka sePakat hanya satu cowok paling keren di sekolah, dan manusia itu sedang melangkah ke dalam kelas. Mendadak kelas menjadi sepi. Seperti juru kamera, mata mereka mengikutinya.
Ali Chen merupakan perpaduan Arab dan Cina. Dia berkulit putih, tingginya sedang, matanya tidak besar atau sipit dengan alis tebal dan bulu mata lentik, bekas cukuran terlihat hijau di dagu dan sepanjang rahangnya. Dia duduk tepat di depan Adrian. Adrian tamPak tidak tertarik dengan kehadirannya dan masih fokus membaca. Ali memandangnya dan berpikir; seandainya Adrian adalah dirinya dan dirinya adalah Adrian, dan dia membaca buku yang dibaca Adrian sementara Adrian memberikan kedipan kepada perempuan-perempuan itu. Lalu, Adrian (yang tadi adalah dirinya) berpikir, seandainya Adrian itu adalah dirinya yang berpikir apa yang dia pikirkan sekarang, maka Adrian adalah dia. Aneh sekali. Ali mengeluarkan pinsil dan selembar kertas kosong, dan menulis apa yang ada dipikirannya. Kautahu, biasanya tulisannya menjadi puisi atau cerpen. Di sisi timur, tujuh perempuan tadi kembali ngobrol, tapi bukan tentang Ali. Mereka  membicarakan Pak Amir, guru bahasa Inggris baru yang tampan.
* * *
Tidak ada yang melihat Danna masuk dengan wajah cemberut, dan dengan malas dia meletakkan tasnya di atas meja. Anak yang satu ini selalu kecewa dengan sistim dan menganggap pemikirannya lebih maju dari teman-temannya. Dia mengkritik apa saja, termasuk kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang masih belum meratifikasi Protokol Kyoto. Dia mengeluarkan buku tebal fisika Giancolli jilid satu dan meletakkan kepala diatasnya. Lima menit tidur akan membuatnya segar.
Sepuluh menit menjelang ujian, seluruh kursi terisi kecuali satu kursi dua di baris kedua. Si pemilik kursi dianggap sebagai tokoh spiritual. Dia mencintai sesuatu yang universal, sesuatu yang dapat diterima siapapun seperti nilai-nilai kebaikan, kekuatan sebagai penyeimbang alam, hati nurani untuk membedakan sifat baik dan jahat, kepahlawanan sebagai simbol kebaikan. Dia kadang menganggap dirinya sebagai Dalai Lama, Sang Budha, Sri Paus, Gandhi, atau Aa Gym. Dan tepat lima menit menuju jam delapan kelas berubah sepi. Dalam degup jantung masing-masing mengucapkan detik yang sama.
5 ... 4 ... 3 ... 2 ... 1
Dharma berdiri di depan pintu, menatap jauh ke dalam kelas. Teman-temannya menunggu apa yang akan dikatakannya. Dharma mengambil mengeluarkan sebuah arloji kuno milik Pak Winarso dari saku celananya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Ini demi kebaikan teman-teman!” kata Dharma disusul tepuk tangan bergemuruh. Sesaat kemudian kelas menjadi sepi kembali.  Dharma mengeluarkan sesuatu dari kantong kiri celana; sebuah hearing aid asli Swedia diangkat dengan tangan kiri. “Demi kesenanganku!” kata Dharma. Kembali terdengar suara gemuruh tepuk tangan dan sorak sorai. Tapi, kebahagian Dharma tidak berlangsung lama. Dia melangkah menunduk menuju kursinya. Wajahnya memerah matanya terpejam dan dia menangis. “Aku gagal .. Aku gagal!” kata Dharma penuh penyesalan.
Kelas mendesah. “Ooo….”
Dharma menegakkan tubuhnya, pandangannya menerawang jauh, dan berkata, “Dia masih Pakai kacamatanya!” Seluruh kelas merasakan kesedihan yang sama. Mereka menganggap kacamata itulah yang paling penting diantara ketiga pusaka Pak Winarso.
Riuh.
Dua menit menjelang ujian. Dari refleksi kaca jendela terlihat langkah kaki. Sepatu dan bunyinya khas Pak Winarso. Tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, iramanya konstan. Tiga siswa sibuk buru-buru menurunkan poster-poster idola mereka dan beberapa detik kemudian poster-poster pahlawan, sistim pernafasan tubuh, tata surya kembali terpampang tepat saat Pak Winarso melangkah masuk kelas dan mengucapkan selamat pagi.
Tapi Pak Winarso tidak bisa mendengar jawaban mereka. Beliau hanya melihat para siswa hanya membuka mulut tanpa suara. Kelas tamPak sepi dan senyap (bagi Pak Winarso). Namun, jika melihat keadaan yang sebenarnya, para siswa masih mengobrol, bermain hp atau bersenandung. Pak Winarso melihat ke arah jam dinding. Dia membuka tasnya dan mengeluarkan amplop coklat. Soal-soal ujian dibagikan oleh beliau sendiri. Setiap siswa ditatap dengan penuh pengharapan dan pengertian.
Beliau berhenti di samping meja Adrian dan menyuruh Adrian pindah ke meja paling depan. Edi yang duduk di sana pindah ke meja Adrian. Dharma mencoba tenang ketika Pak Winarso mendekat. Pak Winarso menatapnya seolah sedang membaca pikiran Dharma. Beliau memberikan soal padanya dan berlalu. Dharma bernafas lega. Sepuluh menit kemudian semua siswa mendapatkan soal, dan dalam dua jam ke depan mereka akan mengerjakannya.
Goresan pulpen, suara kertas yang dibolak balik dan bisikan-bisikan mulai terdengar. Tapi Pak Winarso bukanlah macam guru yang mudah diperdaya. Beliau berkeliling dengan cepat, menengok ke belakang dengan tiba-tiba atau berdehem guna memberi gertakan. Para siswa dan Pak Winarso mengatur strategi. Dan pada akhirnya Pak Winarso-lah pemenangnya. Kelas sepi kembali, sepi seperti yang dirasakan Pak Winarso. Para siswa tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Dharma bermeditasi, pikirannya kosong, nafasnya teratur dan matanya terpejam. Dia mulai merasakan ketenangan. Hembusan angin mengusap wajah, rambutnya melambai-lambai. Dia berlari ke puncak bukit, merentangkan tangannya, menghirup udara dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Nyanyian burung yang melompat-lompat di dahan pepohonan, bunga warna-warni mengeluarkan bau-bau harum merasuk dalam imajinasinya. Dalam buaian alam, perlahan-lahan Dharma membuka mata. Dia tersenyum. Selanjutnya, pinsilnya menari-nari di atas kertas jawaban dan membiarkan jiwanya menjawab soal-soal itu.
Di tempat lain, mata Riri mengawasi gerak Pak Winarso. Di bawah meja, tangan kanannya menggenggam hp. Jempolnya beberapa kali memencet tombol dan berhenti. Matanya sekilas beralih ke layar hp. Hanya sekilas, dan setelah itu dengan sigap dan cepat dia menjawab soal pertama. Untuk menjawab soal ke dua, Riri mengulanginya lagi dan begitu seterusnya hingga soal terakhir.
Danna tidak peduli dengan soal-soal ujian. Menurutnya ujian ini adalah suatu pembodohan! Banyak persoalan lain yang lebih penting ketimbang mengerjakaan soal-soal ini: Anak-anak jalanan, korupsi, kemacetan, banjir, polusi adalah permasalahan yang butuh jawaban segera. Di dalam otaknya sudah terangkum strategi-strategi membangun bangsa, menciptakan perdamaian dunia, pencegahan korupsi, menata tatanan global dan bergabung dengan Green Peace. Jadi mengapa dia harus terjebak dalam kelas ini? Sebuah rutinitas yang membosankan. Tapi, akhirnya dia mencoba menjawab soal-soal itu karena tidak ingin mengecewakan orang tuanya yang membanting tulang sebagai tukang ojek untuk membiayai pendidikannya.
Kelas yang sepi ini menjadi bahan pemikiran yang menarik buat Ali Chen. Tidak ada yang dilakukannya selain berpikir (mengkhayal). Kertas jawabannya masih kosong. Dia melihat Pak Winarso yang juga sedang memperhatikannya. Pandangannya beralih ke Dharma yang tenang  dan setelah itu beralih ke Danna, Elina, Sari, Adrian, Ketut, dan Nyoman. Dia tertawa kecil.
Adrian terus menggaruk-garuk kepala, membolak balik kertas soal, melepas kacamata dan mengusap wajah. Dia gelisah, gerakannya menandakan ada sesuatu yang kurang beres. Sejauh pemahamannya, soal itu menanyakan tentang relativitas umum dan tidak ada kaitannya dengan mekanika kuantum atau pergerakan atom-atom. Ini sesuatu yang besar berhubungan dengan planet-planet dan kosmos. Persamaan X dan Y tidak divergen dan ini adalah suatu kesalahan! Mungkin ada yang salah dalam soal ini. Tetesan keringatnya jatuh di lembar jawaban dan membuat tulisannya luntur. Dia mencoba membersihkannya, tapi gagal. Dia semakin tegang dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Jika dia tidak sanggup mengerjakan ujian ini maka perasaannya akan menjadi lebih peka sehingga dia akan menyalahkan siapa pun. Dia meletakkan pinsilnya di sebelah kanan, menarik nafas dalam-dalam dan mencoba tenang. Mungkin reputasinya akan jatuh seperti saat dia menjatuhkan pinsilnya dan tak akan ada orang lain yang akan menghargai.
Satu jam berlalu. Ketenangan, kegelisahan, senyum, bisikan dan musik adalah kata-kata yang tepat sebagai arti gerakan-gerakan kilat yang dilakukan para siswa. Pak Winarso duduk tenang, matanya tak lelah mengawasi. Tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu di balik tumpukan buku. Beliau  menemukan hearing aid-nya. Tapi itu bukan yang biasa diPakai. Benda itu terlihat baru dan bagus. Beliau memasang alat itu di kedua telinganya dan terdengar jelas bunyi-bunyian, lebih jelas dari yang beliau punya. Para siswa yang melihatnya menarik nafas dan berhenti berbisik. Kelas jadi hening, benar-benar hening.
Jarum jam di dinding bergerak lambat. Suaranya seperti palu raksasa memukul pelan. Dari menit ke menit suara itu semakin melambat dan selama itu pula para siswa mulai terserang rasa bosan. Beberapa siswa menguap, meregangkan tangan, menggaruk kepala dan ada pula yang tidur. Mereka menunggu dalam jenuh, tangan-tangan menopang dagu, menggantinya dari kanan ke kiri dan kiri ke kanan. Tapi mereka punya ekspresi yang sama ketika mendengar suara ledakan. Bukan ledakan bom atau gas elpiji. Suara itu hanya ledakan tawa dari salah satu diaantara mereka.
Tidak perlu waktu lama untuk mengetahui sumbernya. Semua mata memandang Ali Chen yang sedang tertawa geli. Pak Winarso bangkit dan bergegas menuju ke sana. Para siswa menduga-duga apa yang akan dilakukan Pak Winarso padanya. Pak Winarso berdiri di samping Ali. Ali melirik ke arahnya dan mencoba untuk menahan tawa, tapi tidak bisa. Dia tetap tertawa, tapi kali ini lebih pelan karena dia menutup mulutnya dengan tangan. Kemudian, tawanya berubah cekikikan dan memancing tawa kecil teman-temannya. Hanya Pak Winarso yang tidak tertawa.
“Kenapa?” tanya Pak Winarso galak.
Yang ditanya hanya tersenyum kecil.         
“Apa yang kamu tertawakan?”
 Ali mencoba keras menahan tawanya dan kali ini berhasil.
“Maaf, Pak,” kata Ali. “Saya ... saya hanya membayangkan apa yang akan terjadi kalau di tengah kelas yang sepi dan hening ini tiba-tiba saja dikejutkan dengan suara tawa. Hehe.”
“Dan kamu tertawa membayangkan kamu tertawa?”
“Betul, Pak!” sambil menunjuk Pak Winarso. “Saya sebenarnya nggak tahu deh apa yang akan terjadi, yang jelas pasti lucu sekali.
Mendengar jawaban Ali seluruh kelas pun sontak tertawa. Pak Winarso ikut tertawa.
Ali menyalami teman-teman yang berada di dekatnya. Samil mengacungkan jempol, Ali membalas dengan mengangkat alis.
“Semua butuh tertawa,” kata Pak Winarso. “Kelas ini butuh tertawa dan Bapak juga butuh tertawa. Kita sekarang tertawa. Terima kasih, Nak. Terima kasih.Kemudian beliau melangkah pergi dan bediri di samping Adrian yang masih gelisah. Hanya Adrian yang tidak tertawa. Ujian ini terlalu penting baginya.
“Betulkan, Adrian?” kata Pak Winarso menepuk bahu Adrian
“Eh..mm.. betul Pak,” kata Adrian setengah terkejut
Pak Winarso meninggalkan Adrian dan melangkah ke samping meja Dharma. Dharma mengeluarkan arloji milik Pak Winarso dari tasnya. Kelas berangsur-angsur tenang, tapi para siswa tidak mengerjakan soal. Dharma menyerahkan benda itu kepada Pak Winarso. Kelas menunggu Pak Winarso mengatakan sesuatu. Semua mata tertuju pada beliau.
Bapak juga berterima kasih kepada Dharma yang sudah membetulkan Rolex saya. Ya, banyak kenangan dari jam ini.”
Pak Winarso menatap satu per satu siswanya, lalu terdiam sebentar dengan matanya berkaca-kaca. Kelas merasakan hal yang sama. Beberapa siswi meneteskan air mata.
“Semuanya gratis kok Pak” kata Dharma tersenyum, disusul senyum teman-teman.
Terima kasih kepada kalian untuk benda ini,” Pak Winarso menunjuk hearing aid barunya. “Pasti harganya mahal.” Beliau mengeluarkan air mata tapi mencoba untuk tidak larut dalam suasana.
“Semuanya gratis kok Pak!” seru para siswa bersamaan. Dan kelas pun tersenyum
* * * 
Pak Winarso, dengan segala keterbatasannya, adalah guru yang baik. Hampir empat puluh tahun beliau mengajar fisika dan selama itu pula lulusan-lulusan terbaik dilahirkan. Kelas ini adalah kebanggaannya di ujung masa tugasnya karena minggu depan beliau pensiun. Fisika adalah hidupnya dan begitu pula murid-muridnya. Kesan angker yang tertuju pada fisika dan dirinya hanya diberikan oleh siswa yang belum paham. Meski begitu beliau tetap menghargai mereka. Kelas ini adalah bukti keberhasilannya. Setengah dari piala-piala dalam lemari kaca didapat dari lomba fisika.
Hari itu hari terakhir Pak Winarso di SMA 1 Cisalengka. Beliau akan merindukan para siswa. Ucapan selamat tinggal bukanlah ucapan yang tepat untuk berpisah. Saling mendoakan adalah ucapan yang terbaik, dan mereka melakukannya hari itu.
Pak Winarso berulang kali memberinya pemahaman kepada Adrian mengenai fisika dengan sabar. Namun, Adrian selalu mencampur aduk antara sastra dan fisika. Beliau tidak memaksakan fisika kepada Adrian. Waktu itu Adrian mendapat soal termudah diantara teman-temannya. Samil berpikir jika Adrian duduk di belakang, maka dia akan dapat membantunya. Lain halnya saat ada tugas membuat puisi, ketika hampir seluruh kelas meminta Adrian membuatkan puisi, maka dengan senang hati Adrian membantu mereka.
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar