Siti tidak
berjualan kue-kue di bulan Ramadhan, dan sebagai gantinya, ia mengamen di
perempatan jalan. Ia bekerja bukan atas suruhan siapa-siapa, tapi datang dari
keinginannya. Dalam pikirannya yang sederhana, jika orang tuanya tidak punya
uang maka ia tidak bisa sekolah.
Ia berangkat
mengamen pagi-pagi benar bersama seorang temannya, berjalan sejauh 1.5 km
sambil membawa tas berisi seragam sekolah, buku-buku, kecekran dan
harapan kecil dari seorang gadis kecil. Jalanan masih lengang, tapi Siti tidak
pernah khawatir tidak kebagian rejeki.
Bu Mirah baru
membuka kios korannya. Siti mengucap salam dan setelah itu mencium tangan
Bu Mirah seperti ia mencium tangan ibunya. Ia membantu Bu Mirah menyusun
koran-koran dan menggantung beberapa majalah.
Lebih banyak
pengamen di bulan Ramadhan; sebagian dikenal Siti, sebagian lain pengamen baru. Ketika
lampu merah menyala, anak-anak pengamen berhamburan di jalan. Siti bernyanyi di
samping mobil sedan hitam
mengkilap, kecekrannya dipukul kencang. Matahari yang bersinar
cerah tidak sampai hati melihat tangan Siti memerah. Ia meminta awan untuk
segera bergeser untuk menutup sinarnya. Siti tersenyum usai bernyanyi, gigi-giginya kecil dan
putih. Tidak berapa lama kaca mobil bergerak turun, dan wanita baik itu memberi Siti sepuluh
ribu. Tentu saja, orang-orang terlihat lebih dermawan di bulan Ramadhan, bukan?
Siti selesai
mengamen di jam sembilan. Dua puluh empat ribu lima ratus didapatnya dari lima
mobil dan satu sepeda motor. Siti mengucap alhamdulillah dan
berlari ke kios bu Mirah. Ia mengambil tasnya, memasukkan kecekran-nya
ke dalamnya, dan memakai seragam sekolah di sebelah Mirah yang terkantuk-kantuk
menunggu kios. Siti tidak memusingkan keringatnya, sedikit bedak akan
membuatnya cantik. Tapi tidak ada cermin di kios Bu Mirah, ia mengira-kira
sudahkah bedaknya merata di wajah? Bu Mirah terlompat kaget ketika Siti
memanggil. Tapi Bu Mirah tidak marah. Ia tersenyum melihat pipi kanan Siti
memerah. Ia membantu Siti meratakan bedaknya dan menyisir rambutnya.
Siti naik angkot
ke sekolah, kira-kira lima belas menit jaraknya. Di dalam angkot ia menghitung
lagi uangnya, kali ini ditambahkan dengan uang
tabungannya. Tapi
pikirannya selalu salah menjumlah, dan karena itu ia memutuskan mencatatnya di
buku sekolah. Uh, uangnya masih belum cukup untuk membeli sepeda, ia berkata.
Sebelum turun, ia menyisihkan seribu untuk ongkos dan menyimpan sisanya di dalam
tempat pensil. Jalanan macet; Siti cemas kalau-kalau ia terlambat.
Ia duduk mengipas-ipas wajah dengan buku dan mengelap keringatnya dengan lengan
baju. Tahun lalu tahun pertama ia lulus puasa sebulan penuh, dan karena
itu Bapak memberinya sepuluh ribu.
Siti memang
bukan anak terpandai di sekolah, tapi ia yang paling rajin di kelas.
Penampilannya mudah dikenali dengan tubuhnya yang mungil dan mata
sipitnya. Siti tidak mengeluh memakai sepatu sempit atau memakai seragam yang
sama selama seminggu, baginya belajar adalah yang utama. Lagi pula tidak ada
teman yang menghina, semua senang mengenal Siti apa adanya. Ketika sang guru
masuk, Siti duduk dengan sigap, tangan terlipat di atas meja dan pandangan
penuh perhatian. Ibu guru membacakan legenda dari Bali, teman sebangku Siti
menguap dua kali.
Siti pulang
sebelum jam dua, di rumah Ibu menjahit celana, Bapak membetulkan kaki meja.
Setelah sholat
dzuhur Siti tidur sebentar. Ia terbangun menjelang ashar dan mengamen lagi usai
belajar. Meski sore itu Siti lebih banyak bermain, tapi hasilnya tidak kalah
dari tadi pagi. Seorang mahasiswi memberinya sepuluh ribu, dibilangnya wajah
Siti lucu. Ah, seperti pernah kukatakan tadi, bukankah orang-orang menjadi
lebih dermawan di bulan Ramadhan?
Siti pulang
sebelum jam lima, berjalan melewati penjual makanan buka puasa. Ibu, Bapak, dan
Abang pasti senang dibelikan kolak dan es kelapa.
Menjelang
maghrib Siti duduk berkumpul bersama keluarga. Bapak memakai sarung dan kopiah,
duduk sambil memegang remote TV mencari-cari ustadz favoritnya. Ibu baru tiba,
membawa seteko es kelapa. Abang memindahkan kolak ke dalam mangkuk. Siti yang
membagi-bagikannya. Untuk sesaat Siti tersenyum bangga. Ketika akhirnya adzan
berkumandang, Bapak mengucap alhamdulillah, dan
Siti mengikutinya, Abang
duluan minum es kelapa.
Sehabis maghrib
Siti mengaji di musholla. Siti paling fasih baca qur’an, dan karena itulah
Ustadz Andi memintanya untuk membantu mengajar ngaji anak-anak lain.
Di akhir
pengajian Ustadz Andi mengumumkan lomba tujuh belasan. Katanya, tahun ini tidak
ada lomba makan kerupuk. Lala, juara lomba makan krupuk tahun kemarin, akan
ikut lomba memasukkan pensil ke dalam botol. Lala bertubuh besar dan tinggi.
Siti pikir seharusnya Lala ikut lomba balap karung.
Ini tahun kedua
Siti ikut lomba dan tidak sabar menunggu tanggal tujuh belas Agustus.
Tahun kemarin ia hanya sedikit lebih lambat dari pemenang ketiga lomba
memasukkan benang kedalam jarum. Abang Siti selalu jadi juara; juara lomba
makan kerupuk di tahun pertama, juara pertama lomba memasukkan pensil ke dalam
botol di tahun kedua, dan juara dua lomba balap karung tahun lalu. Tapi
peringatan tujuh belasan tahun ini sedikit berbeda. Pak RW mengusulkan
mengadakan upacara. Ia meminta masing-masing RT mengirim beberapa orang anak
sebagai petugasnya. Ketika anak-anak lain menunggu dipilih, Siti malah mengajukan
diri menjadi pembawa bendera.
Dua hari
menjelang tujuh belasan, tiang bendera didirikan di tengah lapangan, dibuat dari dua bambu yang
diikat. Pamflet-pamflet pengumuman lomba ditempel di mading musholla, di
dinding-dinding belakang rumah dan di tiang-tiang listrik. Bendera-bendera
plastik kecil terpasang melintang di atas jalan, gapura dihiasi bendera merah putih dengan lampu warna-warni di
atasnya. Siti melihat dirinya di cermin dengan seragam upacara, lalu
melakukan gerakan
baris-berbaris dan memberi hormat.
Di malam tujuh
belasan Siti menghitung uang tabungan, jumlahnya tiga ratus delapan puluh tiga
ribu yang ditumpuk rapih di atas meja dan sudah dipilah recehannya. Dalam
hitung-hitungan sederhana, uangnya cukup untuk membeli baju baru buat Ibu,
Bapak, dan Abang. Tapi tidak untuk sepeda.
* * *
Tujuh Belas
Agustus pun tiba. Upacara Bendera dimulai jam sepuluh, sama seperti yang
diadakan di Istana Negara. Siti terlihat gagah, berdiri di tengah-tengah
membawa bendera yang terlipat. Bendera terbentang, diikuti suara lantang
pemimpin upacara yang berteriak: “Hormat ... Grak!” Semuanya mengangkat tangan memberi hormat.
Sore harinya
panitia lomba sibuk membuat garis start dan finish,
meletakkan lima buah botol berjejer, menumpuk karung-karung di ujung lapangan.
Hadiahnya dibungkus dengan kado warna-warni. Anak-anak berkumpul di lapangan
jam empat, sebagian wajah terlihat tegang, sebagian lain terlihat senang.
Ketika lomba pertama dimulai, orang-orang bersorak-sorai, lapangan sangat
ramai. Tapi Siti masih di rumah, duduk di tepi ranjang sambil berdo’a untuk menang.
Dua lomba usai,
lomba memasukkan pinsil kedalam botol segera dimulai. Panitia memanggil para
peserta:
“Lala!” … Ada …
“Desi!” … Ada … “Fauziah” … Ada … “Siti” …. “Siti?” … “Siti?”
“Kemana Siti?”
tanya Bapak pada Abang. Abang menggeleng kepala.
Bapak dan Abang
mencari Siti di lapangan, panitia menunda lomba untuk sementara.
Dan setelah sepuluh menit Siti belum tampak juga, Bapak mencari Siti di
rumah.
Ketika Bapak
tiba di rumah, Siti sedang tertidur di ranjang. Bapak menepuk pelan lengan
Siti sambil berbisik memanggilnya. Tapi Siti tidak bangun. Begitu pula
dengan panggilan-panggilan berikutnya yang tidak dijawab Siti. Kemudian setelah
itu pandangan Bapak jadi
kosong. Dia tahu apa yang terjadi pada Siti. Matanya menerawang ke masa
delapan tahun lalu ketika Siti dilahirkan tanpa tangis dan nafas. Tapi, kesedihan itu tidak
berlangsung lama setelahTuhan menjawab do’a mereka. Terdengar suara
tangis bayi, pertanda dimulainya kehidupan baru Siti. Bapak memberi nama bayi
cantik itu Siti Hayati atau berarti Siti yang hidup. Dan sejak
itulah Siti menjadi anak kesayangan.
Tapi hari ini
Tuhan berkehendak lain. Siti tetap terbaring, tanpa denyut jantung dan nafas
terembus, sementara yang tersisa hanya senyum dan ketenangan, dan seperti
itulah Siti selamanya.
Bendera itu
masih akan berkibar hingga akhir Agustus. Jika Siti masih hidup dan lewat di
hadapan bendera yang pernah dikibarkannya, pastilah ia akan mengingat-ingat
terus upacara itu dengan penuh bangga.
* * *

Tidak ada komentar:
Posting Komentar