Senin, 02 Maret 2015

Anak Kesayangan


Siti tidak berjualan kue-kue di bulan Ramadhan, dan sebagai gantinya, ia mengamen di perempatan jalan. Ia bekerja bukan atas suruhan siapa-siapa, tapi datang dari keinginannya. Dalam pikirannya yang sederhana, jika orang tuanya tidak punya uang maka ia tidak bisa sekolah.
Ia berangkat mengamen pagi-pagi benar bersama seorang temannya, berjalan sejauh 1.5 km sambil membawa tas berisi seragam sekolah, buku-buku, kecekran dan harapan kecil dari seorang gadis kecil. Jalanan masih lengang, tapi Siti tidak pernah khawatir tidak kebagian rejeki.
Bu Mirah baru membuka kios korannya.  Siti mengucap salam dan setelah itu mencium tangan Bu Mirah seperti ia mencium tangan ibunya. Ia membantu Bu Mirah menyusun koran-koran dan menggantung beberapa majalah.

Lebih banyak pengamen di bulan Ramadhan; sebagian dikenal Siti, sebagian lain pengamen baru. Ketika lampu merah menyala, anak-anak pengamen berhamburan di jalan. Siti bernyanyi di samping mobil sedan hitam mengkilap, kecekrannya dipukul kencang. Matahari yang bersinar cerah tidak sampai hati melihat tangan Siti memerah. Ia meminta awan untuk segera bergeser untuk menutup sinarnya. Siti tersenyum usai bernyanyi, gigi-giginya kecil dan putih. Tidak berapa lama kaca mobil bergerak turun, dan wanita baik itu memberi Siti sepuluh ribu. Tentu saja, orang-orang terlihat lebih dermawan di bulan Ramadhan, bukan?
Siti selesai mengamen di jam sembilan. Dua puluh empat ribu lima ratus didapatnya dari lima mobil dan satu sepeda motor. Siti mengucap alhamdulillah dan berlari ke kios bu Mirah. Ia mengambil tasnya, memasukkan kecekran-nya ke dalamnya, dan memakai seragam sekolah di sebelah Mirah yang terkantuk-kantuk menunggu kios. Siti tidak memusingkan keringatnya, sedikit bedak akan membuatnya cantik. Tapi tidak ada cermin di kios Bu Mirah, ia mengira-kira sudahkah bedaknya merata di wajah? Bu Mirah terlompat kaget ketika Siti memanggil. Tapi Bu Mirah tidak marah. Ia tersenyum melihat pipi kanan Siti memerah. Ia membantu Siti meratakan bedaknya dan menyisir rambutnya.
Siti naik angkot ke sekolah, kira-kira lima belas menit jaraknya. Di dalam angkot ia menghitung lagi uangnya, kali ini ditambahkan dengan uang tabungannya. Tapi pikirannya selalu salah menjumlah, dan karena itu ia memutuskan mencatatnya di buku sekolah. Uh, uangnya masih belum cukup untuk membeli sepeda, ia berkata. Sebelum turun, ia menyisihkan seribu untuk ongkos dan menyimpan sisanya di dalam tempat pensil. Jalanan macet; Siti cemas kalau-kalau ia terlambat. Ia duduk mengipas-ipas wajah dengan buku dan mengelap keringatnya dengan lengan baju. Tahun lalu tahun pertama ia lulus puasa sebulan penuh, dan karena itu Bapak memberinya sepuluh ribu.
Siti memang bukan anak terpandai di sekolah, tapi ia yang paling rajin di kelas. Penampilannya mudah dikenali dengan tubuhnya yang mungil dan mata sipitnya. Siti tidak mengeluh memakai sepatu sempit atau memakai seragam yang sama selama seminggu, baginya belajar adalah yang utama. Lagi pula tidak ada teman yang menghina, semua senang mengenal Siti apa adanya. Ketika sang guru masuk, Siti duduk dengan sigap, tangan terlipat di atas meja dan pandangan penuh perhatian. Ibu guru membacakan legenda dari Bali, teman sebangku Siti menguap dua kali.
Siti pulang sebelum jam dua, di rumah Ibu menjahit celana, Bapak membetulkan kaki meja.
Setelah sholat dzuhur Siti tidur sebentar. Ia terbangun menjelang ashar dan mengamen lagi usai belajar. Meski sore itu Siti lebih banyak bermain, tapi hasilnya tidak kalah dari tadi pagi. Seorang mahasiswi memberinya sepuluh ribu, dibilangnya wajah Siti lucu. Ah, seperti pernah kukatakan tadi, bukankah orang-orang menjadi lebih dermawan di bulan Ramadhan?
Siti pulang sebelum jam lima, berjalan melewati penjual makanan buka puasa. Ibu, Bapak, dan Abang pasti senang dibelikan kolak dan es kelapa.
Menjelang maghrib Siti duduk berkumpul bersama keluarga. Bapak memakai sarung dan kopiah, duduk sambil memegang remote TV mencari-cari ustadz favoritnya. Ibu baru tiba, membawa seteko es kelapa. Abang memindahkan kolak ke dalam mangkuk. Siti yang membagi-bagikannya. Untuk sesaat Siti tersenyum bangga. Ketika akhirnya adzan berkumandang, Bapak mengucap alhamdulillah, dan Siti mengikutinya, Abang duluan minum es kelapa.
Sehabis maghrib Siti mengaji di musholla. Siti paling fasih baca qur’an, dan karena itulah Ustadz Andi memintanya untuk membantu mengajar ngaji anak-anak lain.
Di akhir pengajian Ustadz Andi mengumumkan lomba tujuh belasan. Katanya, tahun ini tidak ada lomba makan kerupuk. Lala, juara lomba makan krupuk tahun kemarin, akan ikut lomba memasukkan pensil ke dalam botol. Lala bertubuh besar dan tinggi. Siti pikir seharusnya Lala ikut lomba balap karung.
Ini tahun kedua Siti ikut lomba dan tidak sabar menunggu tanggal tujuh belas Agustus. Tahun kemarin ia hanya sedikit lebih lambat dari pemenang ketiga lomba memasukkan benang kedalam jarum. Abang Siti selalu jadi juara; juara lomba makan kerupuk di tahun pertama, juara pertama lomba memasukkan pensil ke dalam botol di tahun kedua, dan juara dua lomba balap karung tahun lalu. Tapi peringatan tujuh belasan tahun ini sedikit berbeda. Pak RW mengusulkan mengadakan upacara. Ia meminta masing-masing RT mengirim beberapa orang anak sebagai petugasnya. Ketika anak-anak lain menunggu dipilih, Siti malah mengajukan diri menjadi pembawa bendera.
Dua hari menjelang tujuh belasan, tiang bendera didirikan di tengah lapangan, dibuat dari dua bambu yang diikat. Pamflet-pamflet pengumuman lomba ditempel di mading musholla, di dinding-dinding belakang rumah dan di tiang-tiang listrik. Bendera-bendera plastik kecil terpasang melintang di atas jalan, gapura dihiasi bendera merah putih dengan lampu warna-warni di atasnya. Siti melihat dirinya di cermin dengan seragam upacara, lalu melakukan gerakan baris-berbaris dan memberi hormat.
Di malam tujuh belasan Siti menghitung uang tabungan, jumlahnya tiga ratus delapan puluh tiga ribu yang ditumpuk rapih di atas meja dan sudah dipilah recehannya. Dalam hitung-hitungan sederhana, uangnya cukup untuk membeli baju baru buat Ibu, Bapak, dan Abang. Tapi tidak untuk sepeda.
* * *
Tujuh Belas Agustus pun tiba. Upacara Bendera dimulai jam sepuluh, sama seperti yang diadakan di Istana Negara. Siti terlihat gagah, berdiri di tengah-tengah membawa bendera yang terlipat. Bendera terbentang, diikuti suara lantang pemimpin upacara yang berteriak: “Hormat ... Grak!” Semuanya mengangkat tangan memberi hormat.
Sore harinya panitia lomba sibuk membuat garis start dan finish, meletakkan lima buah botol berjejer, menumpuk karung-karung di ujung lapangan. Hadiahnya dibungkus dengan kado warna-warni. Anak-anak berkumpul di lapangan jam empat, sebagian wajah terlihat tegang, sebagian lain terlihat senang. Ketika lomba pertama dimulai, orang-orang bersorak-sorai, lapangan sangat ramai. Tapi Siti masih di rumah, duduk di tepi ranjang sambil berdoa untuk menang.
Dua lomba usai, lomba memasukkan pinsil kedalam botol segera dimulai. Panitia memanggil para peserta:
“Lala!” … Ada … “Desi!” … Ada … “Fauziah” … Ada … “Siti” …. “Siti?” … “Siti?”
“Kemana Siti?” tanya Bapak pada Abang. Abang menggeleng kepala.
Bapak dan Abang mencari Siti di lapangan, panitia menunda lomba untuk sementara. Dan setelah sepuluh menit Siti belum tampak juga, Bapak mencari Siti di rumah.
Ketika Bapak tiba di rumah, Siti sedang tertidur di ranjang. Bapak menepuk pelan lengan Siti sambil berbisik memanggilnya. Tapi Siti tidak bangun. Begitu pula dengan panggilan-panggilan berikutnya yang tidak dijawab Siti. Kemudian setelah itu pandangan Bapak jadi kosong. Dia tahu apa yang terjadi pada Siti. Matanya menerawang ke masa delapan tahun lalu ketika Siti dilahirkan tanpa tangis dan nafas. Tapi, kesedihan itu tidak berlangsung lama setelahTuhan menjawab doa mereka. Terdengar suara tangis bayi, pertanda dimulainya kehidupan baru Siti. Bapak memberi nama bayi cantik itu Siti Hayati atau berarti Siti yang hidup. Dan sejak itulah Siti menjadi anak kesayangan.
Tapi hari ini Tuhan berkehendak lain. Siti tetap terbaring, tanpa denyut jantung dan nafas terembus, sementara yang tersisa hanya senyum dan ketenangan, dan seperti itulah Siti selamanya.
Bendera itu masih akan berkibar hingga akhir Agustus. Jika Siti masih hidup dan lewat di hadapan bendera yang pernah dikibarkannya, pastilah ia akan mengingat-ingat terus upacara itu dengan penuh bangga.
* * *


Tidak ada komentar:

Posting Komentar